Sabtu, 17 November 2012

Intinnya Bersuci Tak Boleh di Perlambat, Ada Kewajiban yang Meski Kita Kerjakan.

Apabila seorang wanita Muslimah mengeluarkan darah haid beberapa saat setelah masuknya waktu shalat, yang memungkinkan baginya untuk mengerjakan shalat, akan tetapi ia belum sempat mengerjakannya maka shalat itu tetap terhitung kewajibannya dan ia harus mengadhakannya pada shalat lain (setelah ia suci).

Apabila sebelum masa haid menjelang ia masih memiliki kesempatan untuk melakukan thakbiratul ihram, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat yang di tinggalkannya itu.

Apabila darah haid itu berhenti pada waktu shalat Ashar, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat Dzuhurnya atau apabila berhenti pada waktu shalat isya, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat magribnya.

Ia tidak lagi dibebani kewajiban mengerjakan shalat apabila telah sempat mengerjakan satu rakaat penuh, sebelum masa haid menjelang. Ketika itu, ia berkewajiban untuk mengerjakan shalat, baik kesempatan yang diperoleh berlangsung awal waktu pada akhir shalatnya.

Apabila seorang wanita mengeluarkan darah haid pada sekitar satu rakaat dari pelaksanaan shalatnya setelah tenggelam matahari, maka ia berkewajiban untk mngqadha shalat Magrib yang ia tinggalkan. Karena, ia sempat memasuki waktu shalat Magrib, yaitu sekitar satu raka'at sebelum mengeluarkan darah haid.

Apabila seorang wanita telah suci dari haid pada waktu sekitar satu raka'at dari pelaksanaan shalat sebelum terbitnya matahari, maka ia berkewajiban untuk mengqadha shalat Subuhnya ketika sudah dalam keadaan suci. Karena, ia sempat memasuki waktu shalat subuh dalam keadaan suci dari haid untuk mengrjakan satu raka'at. Akan tetapi, apabila waktu itu tidak mencukupi untuk mengerjakan satu raka'at. Akan tetapi, apabila waktu itu tidak mencukupi untuk mengerjakan satu raka'at penuh, seperti ia mengeluarkan darah haid sesaat setelah waktu Magrib, maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat, sebagaimana sabda nabi yang artinya "Barangsiapa telah melakukan satu rakaat dari shalat pada waktunya, maka ia telah mendapatkan shalat tersebut."(Muttafaqun Alaih)

Pengertian hadis diatas adalah bahwa orang yang mendapatkan waktu shalat kurang dari satu raka'at, maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat secara peniuh.

Barangsiapa telah melakukan satu raka'at shalat Ashar setelah ia suci dari haid, maka ia tidak berkewajiban untuk mengerjakan shalat Zhuhur. ini menurut pendapat
abu Hanifah.

Sumber : Buku Best Seller "Fiqih Islam" Edisi Lengkap karangan Syeikh Kamil Muhammad Uwaidah

Selasa, 20 Maret 2012

Haid dan Hikmahnya


MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
1.    Makna Haid
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara’ ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2.    Hikmah Haid
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada didalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta’ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian  pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.
USIA DAN MASA HAID
1.    Usia Haid
Usia haid biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
Para ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, dimana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut ?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan :”Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu” (Al-Majmu ‘Syarhul Muhadzdazb, Juz I, hal. 386).
Pendapat Ad-darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau diatas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.
2.    Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan : “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” (Al-Baqarah : 222)
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah.
“Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”.
Kata Aisyah : “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah.
“Artinya : Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga.
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat ; jumlah bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya, presentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami sitri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum Mu’minin.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : ….. Dan kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …..” (An-Nahl : 89).
“Artinya : ….. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi mebenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ….” (Yusuf : 111).
Oleh karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini – yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah – berguna bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum-hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan : “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebuah haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah” (Risalah fil asmaa’ allati ‘allaqa asy-Syaari’ al-ahkaama bihaa. hal. 35).
Dalil keempat
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan‘illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua  dengan hari pertama, antara hari ke empat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau antara hari kedelapan belas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat ‘illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum diantara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam ‘illat ? Bukankah hal ini bertentangan dengan qiyas yang benar ? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam ‘illat ?
Dalil kelima
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan, Inysa Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah” (Risalah fil asmaa’ allati ‘allaqa asy-Syaari’ al-ahkaama bihaa. hal. 36).
Kata beliau pula : “Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka”. (Risalah fil asmaa’ allati ‘allaqa asy-Syaari’ al-ahkaama bihaa. hal. 38).
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam, yaitu : mudah dan gampang.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (Al-Hajj : 78).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidak seorangpun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampui batas) dan sebarkan kabar gembira”. (Hadits Riwayat Al-Bukhari).
Dan diantara ahlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
3. Haid Wanita Hamil
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad, rahimahullah, “Kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu bukan barah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum-hukum haid ? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.
Inilah madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi’i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al-Ikhtiyarat (hal.30) :”Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini”.
Dengan demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah :
1.    Talak. Diharamkan mentalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta’ala.
“Artinya : ….Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ….” (Ath-Thalaaq : 1).
Adapun mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan masa kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.
2.    Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (Ath-Thalaaq : 4)

Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin Nisaa’ . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-’Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal. 9-20. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta

Shalat Berjamaah selaian di Masjid


Para ulama berbeda pendapat dalam hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.

Ini pendapat Malik, Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.
Ibnul Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Imam Syafi’i –rahimahullah- berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]
Al-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di masjid.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”

Dalil-dalilnya

Mereka berdalil dengan hadis-hadis berikut:

1. Hadis Jabir Radhiyallahu ‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu disebutkan, “Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]

2. Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat waktu shalat datang beliau sedang berada di rumah kami. Kemudian beliau memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu beliau menyapunya dan memercikan air, dan Rasulullah shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di belakang beliau.”[5]

3. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan berdiri di belakangnya, lalu beliau memberi isyarat agar mereka duduk.”[6]

Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan ini.

Pendapat kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.

Pendapat ini merupakan riwayat lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam “Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”[7]

Beliau juga berkata, “Dan yang kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali karena uzur, wallahu a’lam bish shawab.”[8]

Sebagian mereka membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul Barakat (dari kalangan madzhab hambali) berkata, “Jika ia menyelisihi kemudian shalat berjamah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan pendapat yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan.”[9]

Dalam Syarh Fathul Qadir, “Dan al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota keluarganya kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?” ia menjawab, “Tidak, ia menjadi bid’ah dan dibenci tanpa uzur.”

Dalil-dalilnya

Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya berjamaah dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab Syafi’i berselisih pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain masjid, apakah menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeda pendapat ke dalam dua pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di selain masjid untuk menegakkan perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika tempatnya ramai, seperti shalat berjamah di pasar misalnya.
Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah- berkata, “yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang muktabar yang tidak bisa dihilangkan.”

Pendapat ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali dengan berjamaah.
Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan jamaah.”[10]

Ibnu Taimiyyah berkata dalam “Al-Fatawa Al-Mishriyyah”, “Apakah orang yang shalat berjamaah di rumahnya, gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat perselisihan, dan hendaknya tidak meniggalkan jamaah di masjid kecuali ada uzur.”[11]

Penutup

Alakah baiknya jika kita tutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul Qayyim –rahimahullah- dalam “Kitab Shalat”:
“Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”
Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan sampai kabarnya kepada penduduk Mekah, Suhail bin Amr berkhutbah –ketika itu Itab bin Usaid menjadikannya gubernur di Mekkah, ia sembunyi dari mereka karena takut. Kemudain Suhail mengeluarkannya saat penduduk Mekah telah kuat dalam Islam- kemudian Itab bin Usaid berkhutbah, “Wahai penduduk Mekah, tidak sampai kepadaku salah seorang diantara kalian yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali akan dipukul lehernya.” Para sahabat Nabi pun berterima kasih kepadanya atas perbuatan ini dan semakin menambah derajatnya di mata mereka. Dan yang aku yang yakini, tidak boleh seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali kerena uzur, wallahu ‘alam bish-shawab.”

Selasa, 06 Maret 2012

Mengapa Wanita Bertabaruj dan Tampil Tanpa Rasa Malu


Berapa hal yang di katakan (Khalid Al-Husainan: 72, 2011) Seseorang wanita bertabaruj dan Tapil Tanpa Rasa Malu disebabkan oleh bebrapa hal :
1. Lemah Iman dan Tidak Takut Kepada ALLAH
         Apabila wanita melupakan hukuman ALLAH terhadap dirinya ketika melanggar perintah-Nya, ia  akan berbuat sesukanya sehingga dirinya dikuasai setan, diperbudak hatinya, dan digiring ke dalam kecenderungan Jiwa yang selalu memerintahkan kejahatan. Selain itu, setan, jin dan manusia akan menghiasai dirinya. Oleh Karena itu Rasulullah SAW bersabda : Aku menengok ke neraka, Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita." (HR. Bukhari)


2.  Pendidikan yang Rusak
         Apabila sebuah keluarga meremehkan pertumbuhan individunya diatas kebaikan, mereka akan terjerumus kedalam jalan kesesatan. Seorang gadis terdidik dari keluarganya dan akan mengikiti jejak mereka. apabila melihat ibunya bertabaruj, dia pun akan bertabaruj.


3. Pengaruh Media Massa
         Dengan munculnya bebagai media massa yang modern, musuh-musuh kebaikan sengaja menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Diantara kebutuhan terpenting mereka adalah mengeluarkan mutiara yang tersimpan dan membuangnya ke rawa kantor.


4. Taklid 
         Pada Zaman yang banyak fitnah dan godaan ini, sebagian wanita senang ikut-ikutan sampai pada batas-batas tergila-gila. Terkhusus, mereka mengikuti akhlak bejat wanita-wanita Barat yang tidak memiliki maksud, kecuali memamerkan kemolekan tubuh tanpa mau memelihara akhlak dan kehormatan. Lalu wanita muslimahpun meniru dan mengikuti mereka dalam gaya berpakaian mereka yang penuh tabaruj, dan akhlak mereka yang rendah.


5. Pengaruh Teman yang Rusak
           Sebagaimana dikatakan orang, "Teman itu memberi pengaruh,"


( Kutipan dari Kitab At-Tabarruj wa Al-Ihtisab Alaihi)

Senin, 27 Februari 2012


RASULULLAH r & HAK–HAK WANITA
﴿ سول الله  r وحقوق المرأة ﴾

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Amma ba’du :
Bukan suatu rahasia lagi bagi para pengamat sejarah Nabi  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (sirah) dan sunnahnya mengenai riwayat-riwayat tematik yang muncul berkenaan dengan kaum hawa, di era naungan edukasi dan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sehingga bisa dikatakan, bahwa beliaulah pelopor revolusi terhadap tradisi umum (berupa penindasan dan pelecehan) terhadap kaum perempuan di masa itu dan masa-masa sebelumnya.
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapati fenomena ketidakberdayaan (perempuan) ini, yang senantiasa dizalimi dan ditindas, kehormatannya dilecehkan, hak berkehendaknya dirampas, direndahkan serta dimarjinalkan, yang telah berlangsung berabad-abad dan dari masa ke masa yang saling berjauhan. Tidak ada alasan lain yang melandasi sikap kesewenangan ini, melainkan hanya karena gender mereka adalah perempuan. Sampai-sampai penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh salah seorang masyarakat Jahiliyah saat itu, yaitu dengan membiarkan anjingnya menyakiti anak putrinya.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang mengibarkan panji advokasi terhadap hak-hak perempuan, di zaman yang belum pernah dikenal dimana hak-hak perempuan dilecehkan sebagaimana yang terjadi pada saat itu. Misi beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini, diawali dengan memuliakan kedudukan perempuan melalui firman Allah Ta’ala :
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ ﴿٧٠﴾  سورة الإسراء
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam.” (QS.17:70).
Dan firman-Nya  :
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ﴿٢٢٨﴾ سورة البقرة
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf.” (QS.2:228).
Adapun hak-hak yang telah sukses diperoleh oleh kaum perempuan di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhitung banyak, diantaranya adalah prinsip kesamaan (egaliter) antara golongan pria dan perempuan dalam derajat kemuliaan, kewajiban agama (taklif) dan ganjaran ukhrawi. Allah Ta’ala berfirman :
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ ﴿٩٧﴾ سورة النحل
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS.16:97).
Juga mengenai hak kaum perempuan untuk memperoleh pendidikan yang layak, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ  (رواه الطبراني)
“Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ath-Thabrani).
Kewajiban ini termasuk bagi kaum perempuan, karena disana tidak ada indikasi yang ditujukan khusus untuk muslim pria saja, secara teks agama (an-nash). Sehingga prinsipnya berlaku umum. (Dalam satu riwayat) para perempuan pernah berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam :
غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ (متفق عليه)
“Kaum pria telah mengalahkan kami atasmu, maka jadikanlah hari (khusus) bagi kami (untuk menimba ilmu) dari dirimu. Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menetapkan hari bagi mereka, hari dimana beliau bisa bertemu (khusus) dengan mereka, lalu menasehati dan memerintahkan mereka.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
          Diantara hak perempuan yang lainnya, memperoleh kehidupan yang layak, rasa aman dan keadilan hukum. Telah diriwayatkan bahwa sekelompok perempuan pergi ke rumah-rumah para istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengadukan sikap suami-suami mereka. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ (رواه أبو داود)
“Sungguh keluarga Muhammad (yaitu istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) dijambangi banyak kaum perempuan yang mengadukan (perihal) suami-suami mereka, (maka) para lelaki tersebut (yaitu para suami yang diadukan) bukanlah orang-orang yang baik diantara kalian” (HR. Abu Daud).
Demikianlah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjatuhkan kualitas kebaikan para lelaki tersebut berdasarkan kerisauan yang dirasakan istri-istri mereka atas perlakuan suami mereka, dan inilah puncak keadilan (al-inshaf) bagi kaum perempuan.
Begitu pula Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan hak keluar rumah bagi kaum perempuan untuk memenuhi berbagai hajat, termasuk untuk menghadiri shalat-shalat fardhu di masjid, dan yang lain sebagainya. Dalam ash-Shahihain :
لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
“Jangan kalian melarang para (wanita) hamba-hamba Allah (untuk mendatangi) masjid-masjid Allah.”
          Mengenai hak-hak harta benda bagi kaum hawa, adalah haknya dalam mahar. Berdasarkan firman Allah Ta’ala :
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً ﴿٤﴾ سورة النساء
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS.4:4).
Maksudnya adalah berikan oleh kalian terhadap wanita-wanita (yang hendak kalian nikahi) akan mahar-mahar mereka sebagai kewajiban (kalian).
Dan haknya dalam memperoleh nafkah (dari suaminya), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
ابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ  (متفق عليه)
“Mulailah dengan orang yang kamu (wajib) nafkahi.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dan sabda beliau lainnya :
امْرَأَتُكَ مِمَّنْ تَعُولُ (رواه أحمد)
“Istrimu termasuk orang yang kamu (wajib) nafkahi.” (HR. Ahmad).
Mengenai hak perempuan dalam memperoleh tempat tinggal, berdasarkan Firman Allah Ta’ala :
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ ﴿٦﴾ سورة الطلاق
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” (QS.65:6).
Demikian pula kebebasan untuk mengelola harta dalam berbagai bentuk transaksi finansial, seperti jual beli, hutang piutang, gadai, sewa menyewa, wakaf, donasi harta, dan lain sebagainya.
Perempuan juga mempunyai hak untuk menuntut cerai atas suaminya, yang istilah agamanya adalah al-khulu’ (tuntutan cerai yang diajukan oleh istri). Telah diriwayatkan bahwa istri Tsabit bin Qais berkata :
رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتِبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا ثَابِتُ اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً (رواه البخاري)
“Wahai Rasulullah, Tsabit bin Qais adalah orang yang paling buruk perilaku dan agamanya. Namun aku membenci kekufuran dalam Islam.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Maukah kamu kebun darinya?” Ia menjawab, “Iya.” Beliau bersabda : “Wahai Tsabit, serahkan kebunmu (kepada istrimu), dan ceraikan ia dengan sebuah talak.” (HR. Al-Bukhari).
Demikian pula perempuan telah memperoleh haknya dalam waris, hal itu setelah (di zaman Jahiliyah) perempuan diwariskan seperti harta benda. Dimana sang istri diwariskan turun temurun kepada keluarga dari suaminya. Hingga putra sulungnya jika dia mau, dapat menikahi istri bapaknya, atau jika salah seorang mereka menghendaki, juga dapat menikahi perempuan tersebut. Dan jika mereka mau, dapat menggantung nasib perempuan tadi hingga maut menjemputnya, atau perempuan itu dapat membebaskan status dirinya dengan memberikan uang sebagai tebusannya. Dan setelah fenomena ini semua, maka jadilah perempuan bagian dari kelompok yang berhak mendapatkan harta warisan, yang disebut dalam istilah agamanya adalah Ashhab al-furudh (orang-orang yang memiliki hak waris).
Diantara hak-hak partisipasi politik bagi perempuan, adalah diberikannya hak baiat, akuntabilitas, syura, rasa aman, perlindungan, memberikan nasehat, dsb. Sebagaimana pernah Ummu Hani meminta perlindungan terhadap seorang pria dari kalangan orang-orang musyrik, maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan jaminan keamanan bagi wanita tersebut. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ (متفق عليه)
“Sesungguh kami akan melindungi orang yang kamu mintai perlindungan.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Ini adalah (kisah) seorang wanita yang menghentikan Umar bin al-Khaththab ra. yang saat itu telah menjabat sebagai seorang khalifah, sementara banyak orang di sekitarnya (pada waktu itu). Lalu wanita tersebut menasehati beliau seraya menyatakan kepadanya, “Wahai Umar!! Dahulu kamu dipanggil dengan sebutan ‘Umair (Umar kecil), kemudian (sekarang) kamu dipanggil orang dengan gelar Amirul Mukminin. Wahai Umar, bertakwalah kepada Allah.  Sungguh orang yang meyakini kematian, (niscaya) ia akan takut untuk mengabaikan (kewajiban agama yang dipikulnya). Dan orang yang meyakini hari perhitungan, (niscaya) ia akan takut akan siksa Allah. Sementara itu Umar terus berdiri mendengarkan ucapan wanita itu. Lalu Umar ditanyai orang mengenai sikapnya saat itu, lalu beliau ra. berkata., “Demi Allah, seandainya perempuan tadi menahanku sejak awal hari hingga dipenghujungnya, maka aku akan tetap (menyimaknya dan berdiri demikian) kecuali (sekedar) untuk menunaikan shalat fardhu (saja). Adakah diantara kalian yang mengenal perempuan tua tersebut? Dia adalah Kaulah binti Tsa’labah, (seorang wanita yang) perkataannya didengar oleh Allah dari atas langit ke tujuh. Pantaskan (jika) Rabb semesta alam ini mendengar perkataannya, sementara Umar tidak mendengarkannya ?!!
          Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan kepada wanita mengenai haknya untuk keluar rumah dalam kerangka bekerja dengan mengindahkan prinsip-prinsip syari’ah yang sudah umum diketahui. Diantara dalil mengenai hal ini, bahwa istri Abdullah bin Mas’ud ra. dahulu memiliki sebuah keahlian kerajinan tangan, ia menjual dari produk kerajinan tangannya, dan  menafkahkan suami dan anak-anaknya dari hasil kerajinannya tersebut. Lalu ia menanyai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang memiliki ketrampilan, maka aku menjual dari produksi kerajinanku, sementara aku dan demikian pula suamiku serta anak-anakku tidak memiliki sesuatu apapun. Mereka membuatku sibuk, maka tidakkah aku (seharusnya) bersedekah? Lalu apakah aku mendapatkan ganjaran atas nafkahku kepada mereka?.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Bagimu pahala atas (perbuatanmu) tersebut.” (HR. Ibnu Hibban).
Diantara hak-hak perempuan yang sangat signifikan yang diperoleh oleh kaum hawa dalam perkara pengasuhan anak. Dalam suatu riwayat, pernah seorang wanita mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini memiliki bagian dari perutku sebagai bejana makanannya, puting susuku sebagai bejana minumannya, dan pangkuanku sebagai pegangannya. Dan sungguh ayahnya berkehendak untuk mengambilnya dariku.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي (رواه أحمد وأبو داود)
“Kamu lebih berhak (untuk mengasuhnya) selama kamu belum menikah (lagi).” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mereformasi keadaan-keadaan kaum perempuan, antara kedudukan dan hak-haknya di dalam Islam. Dan yang paling banyak dipesankan mengenai kaum perempuan, dan memperingatkan atas sikap kesewenang-sewenangan dan arogansi dan serta pemboikatan terhadap hak-hak mereka. Yang demikian itu dapat dilihat dalam teks-teks agama (nash) secara umum. Ibarat menara-menara jalan, setiap tempat terdapat petunjuk-petunjuknya. Demikian itu seperti dalam sabda-Nya :
إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ (رواه أحمد وأبو داود)
“Sesungguhnya perempuan itu adalah pecahannya laki-laki” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Artinya memiliki kesetaraan dan kesamaan dengan kaum pria dalam akhlak dan tabiat, seolah ia merupakan pecahannya laki-laki. Sementara itu sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang lain :
حُبِّبَ إِلَىَّ مِنْ دُنْيَاكُمُ النِّسَاءُ وَالطِّيبُ وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِىَ فِى الصَّلاَةِ (رواه النسائي)
“Dari dunia kalian yang menjadi kesukaanku adalah wanita dan wewangian. Dan shalat dijadikan sebagai pelipur hatiku.” (HR. An-Nasa’i).
Dan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lainnya :
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ (رواه مسلم)
“Janganlah seorang laki-laki beriman membenci seorang wanita beriman, kalaulah ada sikap yang ia tidak sukai dari wanita tersebut, (mesti) ada pula sikap lain dari wanita tersebut yang yang ia sukai.” (HR. Muslim).
Dan sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lainnya :
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا (متفق عليه)
“Nasehatilah para perempuan secara baik-baik. Sesungguhnya perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya bagian yang paling bengkok pada tulang rusuk adalah yang paling atas. Seandainya kamu meluruskannya, akan mematahkannya. Kalaulah kamu membiarkannya, maka akan selalu bengkok. Nasehatilah para perempuan dengan baik-baik.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dan ini merupakan pemahaman mendalam terhadap tabiat perempuan, serta dorongan untuk bermuamalah terhadap wanita dengan penuh keramahan, kelembutan dan perhatian, tidak keras dan kasar.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan terhadap sikap eksploitasi perempuan, dan secara realitasnya menjadikan pelakunya di dalam situasi yang sulit, berdosa lagi sengsara dan tidak dapat dimaafkan tindakannya. Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ (رواه ابن ماجة)
“Ya Allah, sesungguhnya aku akan membuat sesak (orang yang mengeksploitasi) hak orang-orang lemah, anak yatim dan perempuan.” (HR. Ibnu Majah).
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa sebaik-baik pria adalah yang terbaik interaksinya terhadap perempuannya. Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ (رواه الترمذي)
“Sebaik-baik kalian, (adalah) yang sikapnya terbaik terhadap perempuan-perempuan mereka (sendiri).” (HR. Tirmidzi).
Belum pernah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memukul seorang perempuan pun, sebagaimana yang dituturkan oleh ‘Aisyah ra. dalam riwayat Muslim. Bahkan sesungguhnya beliau bersikap keras terhadap orang-orang yang memukul perempuan-perempuan mereka. Beliau bersabda :
يَضْرِبُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ ضَرْبَ الْعَبْدَ ثُمَّ يُعَانِقُهَا مِنْ آخِرِ النَّهَارِ (متفق عليه)
“Salah seorang dari kalian memukul perempuannya dengan pukulan kepada budak, kemudian ia memeluknya (baca: mengintiminya) di siang hari.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dan inilah pelajaran edukatif yang menyentuh dalam menjaga perasaan istri, khususnya saat ia dibutuhkan oleh suami dalam urusan “ranjang”.
Sesungguhnya kami meyakini bahwa diantara faktor-faktor penting yang menjadi perempuan Saudi menderita di komunitas masyarakat Saudi, kita adalah terkekangnya mereka dari beberapa hak-hak syar’i mereka. Dan sarana yang terbaik untuk membahagiakan mereka dan membahagiakan masyarakat adalah dengan memebrikan mereka hak-haknya tersebut. Dari sini sesungguhnya kami menyerukan kepada upaya merealisasikan misi-misi pencerahan untuk mensosialisasikan hak-hak syar’i perempuan Saudi, meliputi seluruh distrik, desa dan kota di wilayah Saudi Arabia. Turut melibatkan dalam misi ini para orator peduli urusan perempuan dari kalangan penulis, jurnalis, pendidik, pengasuh, juru dakwah, reformis, khatib masjid, cendekiawan, dan profesi lainnya. Juga hak-hak perempuan ini diajarkan kepada para pelajar pria dan wanita di sekolah-sekolah dan universitas-universitas mereka. Para perempuan pun turut mengambil perannya dalam misi ini. Maka inilah yang menjamin kebahagiaan perempuan Saudi, dan memberikan kepada mereka akan hak-hak syar’inya, serta melindungi mereka dari penampilan-penampilan yang menyimpang, menyelamatkan mereka dari setiap aspek yang memberikan pengaruh (buruk) terhadap agama mereka. Dan ini juga merupakan termasuk dalam aktifitas ibadah yang agung selayaknya ibadah-ibadah yang telah disyariatkan oleh Allah Ta’ala.
Keistimewaan tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam menegaskan dan memurnikan hak-hak perempuan secara komprehensif dan integratif mencangkup seluruh tingkatan umurnya. Maka beliau memberikan kepada kalangan perempuan hak-haknya, baik dia itu berstatus sebagai seorang anak putri, saudara wanita, istri, ibu, remaja putri, nenek, perempuan yang merdeka atau budak sekalipun. Berkeadaan sehat, sakit, kaya, faqir, hingga perempuan musyrik sekalipun, ia mendapatkan bagian haknya ..... Adapun mengenai anak perempuan, Islam telah menghapus tradisi penyikapan yang buruk terhadap anak perempuan. Al-Qur`an memulai menyebutkan bahwa anak putri sebagai sebuah karunia dari karunia-karunia-Nya yang terbesar yang diberikan kepada manusia. Allah berfirman :
لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثاً وَيَهَبُ لِمَن يَشَاءُ الذُّكُورَ ﴿٤٩﴾ سورة الشورى
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS.42:49).
Dan menghapuskan tradisi mengubur hidup-hidup anak perempuan, dalam firman-Nya :
بِأَيِّ ذَنبٍ قُتِلَتْ ﴿٩﴾ سورة التكوير
Karena dosa apakah dia dibunuh?!.” (QS.81:9).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الأُمَّهَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ  (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada kalian, sikap durhaka kepada ibu, pelit (terhadap hal yang harusnya diberikan) dan menuntut (yang tidak berhak diperolehnya), serta membunuh anak perempuan” (HR. Muslim).
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghapus tradisi mengutamakan dan membeda-bedakan antara anak yang satu daripada anak yang lainnya.
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ (متفق عليه)
“Bertakwalah kepada Allah, dan bersikap adillah kalian di antara anak-anak kalian.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan bahwa mendidik anak-anak perempuan membutuhkan kesabaran ekstra dan nafkah yang besar. Maka atas hal ini diganjar dengan balasan yang besar pula. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ (رواه مسلم)
“Barangsiapa mengasuh dua anak gadis hingga keduanya dewasa, maka dia kelak datang di hari Kiamat, aku dan dia ....(Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan isyarat dengan merapatkan jarinya).” (HR. Muslim).
Simaklah pemandangan mengagumkan ini yang diriwayatkan oleh Saiyidah ‘Aisyah ra., ia menuturkan baahwa seorang perempuan miskin datang (kepadanya) membawa kedua putrinya, (dalam riwayat lain, “Aku memberikan tiga kurma kepada wanita tersebut.” Pent.), lalu sang ibu memberikan kurma (satu-satu) kepada setiap putrinya, (pada saat) sang ibu mengangkat kurma (yang tersisa satu itu) ke arah mulutnya untuk disantapnya, lalu kedua putrinya tadi memintanya lagi. Maka sang ibu membagi kurma yang hendak disantapnya itu (menjadi dua bagian untuk diberikan) kepada kedua putrinya. Sikap perempuan ini membuatku terkesan, lalu kuceritakan apa yang telah diperbuat sang ibu tadi kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian beliau bersabda :
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ (متفق عليه)
“Sesungguhnya Allah telah mengharuskannya surga baginya dengan kurma tersebut.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
وأمر النبي بالإحسان إلى البنات فقال: « ما من مسلم تدرك له ابنتان فيُحسن إليها ما صَحِبتَاه أو صَحِبهما إلا أدخلتاه الجنة » [أحمد].
وكان العربيُّ في الجاهلية يأنف من أن يداعب وليدته أو يقبلها, فأبطل النبي هذه العادة, وكان يحملُ أُمامة بنت ابنته على عاتقه وهو يصلي, فإذا ركع وضعها، وإذا رفع رفعها. [متفق عليه].
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan dengan sikap yang terbaik kepada nak-anak perempuan :
مَا مِنْ رَجُلٍ تُدْرِكُ لَهُ ابْنَتَانِ فَيُحْسِنُ إِلَيْهِمَا مَا صَحِبَتَاهُ أَوْ صَحِبَهُمَا إِلاَّ أَدْخَلَتَاهُ الْجَنَّةَ (رواه أحمد)
“Tidaklah seorang muslim yang memiliki dua anak putri, kemudian ia menyikapi secara baik atas (setiap) perlakuan kedua putrinya terhadapnya, atau perlakuannya terhadap kedua putrinya. Melainkan (lantaran) kedua putrinya tersebut, ia dimasukkan ke dalam surga.” (HR. Ahmad).
Dahulu di zaman Jahiliyah, bangsa arab menganggap rendah orang yang bermain-main dengan anak perempuannya, apalagi sampai menciumnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghapus tradisi ini, dan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengendong Umamah binti Zainab (putri beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) di atas pundak beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sementara beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam keadaan shalat. Saat beliau hendak ruku’, diturunkannya. Dan saat beliau bangun, diangkatnya lagi. (Sebagaimana yang terdapat dalam ash-Shahihain).
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata mengenai putrinya, Fathimah :
فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي يَرِيبُنِي مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا (متفق عليه)
“Fathimah adalah darah dagingku, yang meragukannya berarti meragukanku, dan yang menyakitinya berarti menyakitiku.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dan perhatikanlah betapa hangatnya muamalah dan kelembutan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika berjumpa dengang putrinya. Pernah Fathimah berjalan menuju Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata :
مَرْحَبًا بِابْنَتِي ثُمَّ أَجْلَسَهَا عَنْ يَمِينِهِ أَوْ عَنْ شِمَالِهِ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيثًا فَبَكَتْ ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا حَدِيثًا فَضَحِكَتْ (متفق عليه)
“Selamat datang wahai putriku, kemudian beliau mendudukkannya di samping kanan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, atau di sebelah kirinya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan sebuah perkataan kepada putrinya, lalu Fathimah menangis. Kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan sebuah perkataan kepada putrinya, lalu Fathimah tertawa..” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Adapun untuk saudara perempuan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
مَنْ عَالَ ثَلاَثَ بَنَاتٍ ، أَوِ ثَلاَثَ أَخَوَاتٍ ، أَوْ أُخْتَيْنِ ، أَوِ ابْنَتَيْنِ فَأَدَّبَهُنَّ وَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ وَزَوَّجَهُنَّ فَلَهُ الْجَنَّةُ (رواه أبو داود)
“Barang siapa yang mengasuh tiga anak putri, atau tiga saudara perempuan. Atau dua saudara perempuan, atau dua anak perempuan, lalu mendidik dan bersikap baik kepada mereka, serta menikahkannya, maka baginya surga.” (HR. Abu Daud).
Sedangkan untuk istri, maka telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang betapa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam baik interaksinya dan lembut sikapnya, mulia jiwa dan kepribadiannya, sehingga tinta pun tidak sanggup untuk mendeskripsikannya, namun cukuplah bagi kita untuk menyebutkan beberapa riwayat mengenai hal tersebut. Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah bersabda :
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي (رواه ابن حبان)
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dari kalian sikapnya kepada keluarganya. Dan aku adalah yang terbaik dari kalian sikapnya kepada keluarga.” (HR. Ibnu Hibban).
Jabir bertutur mengenai sikap Nabi kepada istrinya yang bernama Aisyah :
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً سَهْلاً إِذَا هَوِيَتْ الشَّيْءَ تَابَعَهَا عَلَيْهِ (رواه مسلم)
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang lelaki yang pengertian, jika (Aisyah) menghendaki sesuatu maka beliau mengikutinya.” (HR. Muslim).
Maka dimana orang-orang yang menyangka bahwa pemimpin (leader) itu adalah lelaki yang sanggup menolak semua yang dituntut oleh istrinya, Sekalipun itu mudah untuk dilakukan? Alangkah indahnya sikap yang dituturkan oleh Aisyah ra., bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menyatakan kepadanya :
إِنِّي لأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى، قَالَتْ : مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذَلِكَ ، فَقَالَ : أَمَّا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةً فَإِنَّكِ تَقُولِينَ لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ وَإِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى قُلْتِ لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيمَ ، قَالَتْ : أَجَلْ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَهْجُرُ إِلاَّ اسْمَكَ (متفق عليه)
“Sungguh aku mengetahui, saat-saat kamu senang kepadaku, dan saat-saat kamu marah kepadaku.” Aisyah bertanya, “Darimana kamu mengetahui hal itu?”. Maka beliau menjawab, ((Adapun jika kamu sedang senang kepadaku maka kamu berkata, “Tidak, Demi Rabbnya Muhammad.” Sedang jika kamu sedang marah padaku, kamu berkata, “Tidak, demi Rabbnya Ibrahim”)). Aisyah bertutur, “Benar, Demi Allah. Wahai utusan Allah, tidaklah aku mengucilkan kecuali (hanya) pada namamu.”
Maka bagaimana dengan kita mengenai sikap hangat, penuh kelembutan, mesra dan kebahagiaan ini?. Masih dari Aisyah berkata :
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ وَأَنَا جَارِيَةٌ لَمْ أَحْمِلْ اللَّحْمَ ، فَقَالَ لِلنَّاسِ : تَقَدَّمُوا ، ثُمَّ قَالَ لِي : تَعَالَيْ حَتَّى أُسَابِقَكِ ، فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقْتُهُ ، فَسَكَتَ عَنِّي حَتَّى إِذَا حَمَلْتُ اللَّحْمَ وَنَسِيتُ خَرَجْتُ مَعَهُ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ ، فَقَالَ لِلنَّاسِ : تَقَدَّمُوا ، ثُمَّ قَالَ : تَعَالَيْ حَتَّى أُسَابِقَكِ ، فَسَابَقْتُهُ فَسَبَقَنِي ، فَجَعَلَ يَضْحَكُ وَهُوَ يَقُولُ : هَذِهِ بِتِلْكَ (رواه أبو داود)
“Aku pernah keluar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam beberapa perjalanan, sedang saat itu aku seorang wanita yang tidak membawa perbekalan daging. Maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepada para sahabatnya, ‘Majulah kalian semua.’ Kemudian berkata kepadaku, ‘Kemarilah hingga aku mendahuluimu.’ Maka aku dan beliau saling berusaha mendahului, maka aku mampu mendahuluinya, lalu dia mendiamkanku. Hingga saat aku membawa daging dan aku lupa mengeluarkannya bersamanya di  suatu perjalanannya (yang lain), maka beliau berkata kepada para sahabatnya, ‘Majulah kalian semua.’ Kemudian dia berkata kepadaku, “Kemarilah (Aiysah), hingga aku dapat mengalahkanmu.’ Selanjutnya aku dan dia berusaha untuk saling mendahului, maka beliau dapat mendahuluiku. Kemudian mulailah beliau tersenyum dan berkata, ‘Ini untuk (balasan kekalahan) yang itu.’ ((HR. Abu Daud).
Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun sangat memperhatikan kebutuhan seksual perempuan, maka beliau memotivasi para suami untuk memuaskan kebutuhan ini bagi perempuan, sehingga tidak menjadikannya menyimpang dan berselingkuh kepada selain suaminya, maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرًا (رواه مسلم)
“Dan pada kedua paha kalian, terdapat sedekah.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah jika salah seorang dari kami memuaskan syahwatnya, maka dengan begitu dia memperoleh pahala?” Beliau menjawab, “Apa pendapatmu, seandainya dia meletakkan syahwatnya pada tempat yang diharamkan, bukankah bagianya dosa?! Demikian pulalah jika ia meletakkannya pada yang halal, baginya pahala.” (HR. Muslim).
Dan diantara sikap apresiasi Nabi terhadap perempuan bahwa beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang para suami untuk berburuk sangka terhadap istri-istri mereka dan mencari-cari kesalahan mereka. Jabir ra. berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَطْرُقَ الرَّجُلُ أَهْلَهُ لَيْلًا يَتَخَوَّنُهُمْ أَوْ يَلْتَمِسُ عَثَرَاتِهِمْ (متفق عليه)
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang para lelaki untuk mendatangi keluarganya pada malam hari, menghianati dan mencari-cari kesalahan mereka.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Maka adakah penghormatan yang lebih tinggi kepada perempuan dari bentuk dilarangnya kalangan pria masuk ke rumahnya pada malam hari tanpa diketahui oleh istrinya, jika maksudnya untuk memata-matainya dan mencari-cari kelemahannya !!!
Nabi saw menstimulasi para suami untuk semakin meningkatkan nafkah istri-istri mereka, maka beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqash ra. :
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ (متفق عليه)
“Sesungguhnya tiada kamu mendermakan apa pun jua karena Allah, melainkan kamu diganjari pahala atasnya, hingga yang kamu masukkan (makanan) pada mulut istrimu.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda :
أَفْضَلُ دِينَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ عَلَى عِيَالِهِ (رواه مسلم)
“Seutama-utama dinar adalah dinar yang didermakan seorang laki-laki kepada keluarganya.” (HR. Bukhari).
Sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang lain :
إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا سَقَى امْرَأَتَهُ مِنْ الْمَاءِ أُجِرَ (رواه أحمد)
“Sesungguhnya jika seorang lelaki memberikan minum air kepada istrinya, dibalas pahala.” (HR. Ahmad).
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegaskan dengan sabdanya :
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ ، أَحَفِظَ ذَلِكَ أَمْ ضُيِّعَ ، حَتَّى يُسْأَلُ الرَّجُلُ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ (رواه ابن حبان)
“Sesungguhnya Allah Ta’ala akan menanyai setiap pemimpin atas apa yang menjadi tanggungjawabnya, apakah dia memelihara (amanah) tersebut atau diabaikannya. Hingga seorang kepala rumah tangga akan ditanyai tentang perkara keluarganya.” (HR. Ibnu Hibban).
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
الدُّنْيِا مَتَاعٌ ، وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ (رواه مسلم)
“Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim).
Sedang kesetiaan terhadap istri setelah wafatnya, telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan keteladanan yang sangat mengharukan dalam konteks ini. Anas ra. menyatakan,
 “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mendapatkan hadiah, berkata :
اذْهَبُوا بِهِ إِلَى فُلانَةَ، فَإِنَّهَا كَانَتْ صَدِيقَةً لِخَدِيجَةَ (رواه الطبراني)
“Pergilah ke fulanah, dia dahulu adalah kawannya Khadijah.” (HR. Ath-Thabrani).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah melupakan peran seorang ibu yang oleh perundang-undangan hak asasi manusia internasional dilupakan. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ditanya oleh seorang sahabat :
مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ (متفق عليه)
“Siapa orang yang paling berhak untuk aku layani dengan sebaik-baiknya?.” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Ibumu.” Pria itu bertanya (lagi), “Kemudian siapa (lagi)?” Beliau (kembali) menjawab, “Ibumu.” Pria itu bertanya (lagi), “Kemudian siapa (lagi)?” Beliau (kembali) menjawab, “Ibumu.”  Pria itu bertanya (lagi), “Kemudian siapa (lagi)?” Beliau menjawab, “Ayahmu.” (Muttafaqun ‘Alaihi).
Seorang lelaki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu berkata :
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ وَقَدْ جِئْتُ أَسْتَشِيرُكَ فَقَالَ هَلْ لَكَ مِنْ أُمٍّ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَالْزَمْهَا فَإِنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ رِجْلَيْهَا (متفق عليه)
“Wahai Rasulullah, aku ingin berperang, sungguh aku datang untuk meminta pengarahanmu.” Lalu beliau bertanya, “Apakah kamu masih punya ibu.” Ia menjawab, “Benar.” Beliau bersabda, “Maka mengabdilah kepadanya, sesungguhnya surga dibawah kakinya.” (HR. An-Nasa’i).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang yang sangat proporsional terhadap perempuan. Dimana dan kapanpun beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berada, senantiasa mendudukkan dan menempatkan perempuan pada keadaan yang selayaknya. Anas ra. berkata, “Pernah seorang dari budak-budak perempuan Madinah mengambil tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu pergi membawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sekehendak hajatnya.” (HR. Bukhari).
Dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam belum pernah memperkenankan pemukulan terhadap budak perempuan. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada orang yang memukul budak perempuannya :
أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ (رواه مسلم)
“Bebaskan dia (budak perempuan), sesungguhnya dia adalah seorang perempuan yang beriman.” (HR. Muslim).
Maka tindak penempelangan menjadi alasan yang cukup untuk membebaskan seorang budak bagi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dan dalam riwayat lain :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ لاَ يَأْنَفُ أَنْ يَمْشِيَ مَعَ الأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ فَيَقْضِيَ لَهُ الْحَاجَةَ (رواه النسائي)
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merasa segan berjalan dengan para janda dan orang miskin, kemudian beliau (pun) memenuhi kebutuhan untuk keduanya.” (HR. An-Nasa’i).
Demikian pula dengan wanita yang lanjut usia di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka dari Aisyah ra. berkata, “Seorang wanita tua renta datang kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang saat itu sedang berada di sisiku. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya kepadanya, ‘Siapa anda?’ Ia menjawab, ‘Aku Jatstsamah al-Muzaniyah (wanita pandir dari kabilah Muzaniyah).’ Lalu beliau berkata, ‘Bahkan engkau adalah Hassanah al- Muzaniyah (wanita baik dari kabilah Muzaniyah), bagaimana anda sekarang? Bagaimana kabar anda? Bagaimana anda sepeninggal kami?’ Perempuan tua itu menjawab, ‘Baik-baik saja, demi bapak dan ibuku, ya Rasulullah.’ Ketika ia keluar, Aisyah ra. berkata, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, anda menyambut wanita tua ini dengan gaya penyambutan (sangat hormat, pent.) seperti ini?’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya perempuan tadi telah datang kepada kami (sejak) masa Khadijah, dan sungguh keterikatannya pada keimanan baik’.” (HR. Al-Hakim).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam seorang yang memelihara untuk , dari Anas bin Malik bahwa seorang seorang wanita yang terganggu akalnya, berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya punya keperluan padamu.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata, “Wahai ibu fulan! Perhatikanlah jalan yang mana yang kamu kehendaki untuk berdiriku, hingga aku dapat berdiri bersamamu.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berlalu bersamanya, beliau berpisah setelah wanita tersebut telah memenuhi keperluannya.” (HR. Muslim).
Adapun mengenai perempuan musyrik, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang melakukan pembunuhan terhadap mereka, saat peperangan sekali pun. Pernah suatu ketika, beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendapati adanya mayat seorang perempuan yang terbunuh di suatu peperangan. Maka beliau berhenti di sisi mayat perempuan tersebut, kemudian berkata, “Jangan (sampai) pembunuhan (semacam) ini terjadi.” Kemudian memandangi wajah-wajah para sahabatnya, seraya bersabda kepada salah seorang mereka,
الْحَقْ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ فَلاَ يَقْتُلَنَّ ذُرِّيَّةً وَلاَ عَسِيفًا وَلاَ امْرَأَةً (رواه أحمد وأبو داود)
“Yang benar wahai Khalid bin al-Walid, janganlah mereka membunuh anak-anak, dan tidak pula buruh (yaitu tenaga kerja sewaannya), dan kaum wanita.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Demikianlah beberapa riwayat yang berkenaan dengan hak-hak perempuan dan kedudukannya di sisi Rasulullah dan kekasih kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Tak pelak lagi saat ini, di realitas terkini kita, betapa kita sangat membutuhkan tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini beserta implementasinya. Memberikan hak-hak kepada kaum perempuan secara integral, dan memandang bahwa hal itu adalah suatu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah Ta’ala. Dan ini lebih mengena di dalam membumikan petunjuk-petunjuk Nabi, daripada sekedar berkoar-koar dan mengibarkan panji-panji syiar, tanpa disertai implementasinya di lapangan.
Sungguh jika kita merealisasikan hal ini, dan menghadirkan gambaran menawan mengenai Islam kepada para cendekia, maka mungkin ini menjadi factor penyebab orang-orang menerima Islam lebih banyak lagi daripada apa yang kita lihat pada hari ini.