Selasa, 20 Maret 2012

Haid dan Hikmahnya


MAKNA HAID DAN HIKMAHNYA
1.    Makna Haid
Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara’ ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.
2.    Hikmah Haid
Adapun hikmahnya, bahwa karena janin yang ada didalam kandungan ibu tidak dapat memakan sebagaimana yang dimakan oleh anak yang berada di luar kandungan, dan tidak mungkin bagi si ibu untuk menyampaikan sesuatu makanan untuknya, maka Allah Ta’ala telah menjadikan pada diri kaum wanita proses pengeluaran darah yang berguna sebagai zat makanan bagi janin dalam kandungan ibu tanpa perlu dimakan dan dicerna, yang sampai kepada tubuh janin melalui tali pusar, dimana darah tersebut merasuk melalui urat dan menjadi zat makanannya. Maha Mulia Allah, Dialah sebaik-baik Pencipta.
Inilah hikmah haid. Karena itu, apabila seorang wanita sedang dalam keadaan hamil tidak mendapatkan haid lagi, kecuali jarang sekali. Demikian  pula wanita yang menyusui sedikit yang haid, terutama pada awal masa penyusuan.
USIA DAN MASA HAID
1.    Usia Haid
Usia haid biasanya antara 12 sampai dengan 50 tahun. Dan kemungkinan seorang wanita sudah mendapatkan haid sebelum usia 12 tahun, atau masih mendapatkan haid sesudah usia 50 tahun. Itu semua tergantung pada kondisi, lingkungan dan iklim yang mempengaruhinya.
Para ulama, rahimahullah, berbeda pendapat tentang apakah ada batasan tertentu bagi usia haid, dimana seorang wanita tidak mendapatkan haid sebelum atau sesudah usia tersebut ?
Ad-Darimi, setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini, mengatakan :”Hal ini semua, menurut saya, keliru. Sebab, yang menjadi acuan adalah keberadaan darah. Seberapa pun adanya, dalam kondisi bagaimana pun, dan pada usia berapa pun, darah tersebut wajib dihukumi sebagai darah haid. Dan hanya Allah Yang Maha Tahu” (Al-Majmu ‘Syarhul Muhadzdazb, Juz I, hal. 386).
Pendapat Ad-darimi inilah yang benar dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Jadi, kapan pun seorang wanita mendapatkan darah haid berarti ia haid, meskipun usianya belum mencapai 9 tahun atau diatas 50 tahun. Sebab, Allah dan Rasul-Nya mengaitkan hukum-hukum haid pada keberadaan darah tersebut, serta tidak memberikan batasan usia tertentu. Maka, dalam masalah ini, wajib mengacu kepada keberadaan darah yang telah dijadikan sandaran hukum. Adapun pembatasan padahal tidak ada satupun dalil yang menunjukkan hal tersebut.
2.    Masa Haid
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan masa atau lamanya haid. Ada sekitar enam atau tujuh pendapat dalam hal ini.
Ibnu Al-Mundzir mengatakan : “Ada kelompok yang berpendapat bahwa masa haid tidak mempunyai batasan berapa hari minimal atau maksimalnya”.
Pendapat ini seperti pendapat Ad-Darimi di atas, dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dan itulah yang benar berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan logika.
Dalil pertama.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” (Al-Baqarah : 222)
Dalam ayat ini, yang dijadikan Allah sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan berlalunya sehari semalam, ataupun tiga hari, ataupun lima belas hari. Hal ini menunjukkan bahwa illat (alasan) hukumnya adalah haid, yakni ada tidaknya. Jadi, jika ada haid berlakulah hukum itu dan jika telah suci (tidak haid) tidak berlaku lagi hukum-hukum haid tersebut.
Dalil kedua.
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim Juz 4, hal.30 bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah yang mendapatkan haid ketika dalam keadaan ihram untuk umrah.
“Artinya : Lakukanlah apa yang dilakukan jemaah haji, hanya saja jangan melakukan tawaf di Ka’bah sebelum kamu suci”.
Kata Aisyah : “Setelah masuk hari raya kurban, barulah aku suci”.
Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah.
“Artinya : Tunggulah. Jika kamu suci, maka keluarlah ke Tan’im”.
Dalam hadits ini, yang dijadikan Nabi sebagai batas akhir larangan adalah kesucian, bukan suatu masa tertentu. Ini menunjukkan bahwa hukum tersebut berkaitan dengan haid, yakni ada dan tidaknya.
Dalil ketiga.
Bahwa pembatasan dan rincian yang disebutkan para fuqaha dalam masalah ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal ini perlu, bahkan amat mendesak untuk dijelaskan. Seandainya batasan dan rincian tersebut termasuk yang wajib dipahami oleh manusia dan diamalkan dalam beribadah kepada Allah, niscaya telah dijelaskan secara gamblang oleh Allah dan Rasul-Nya kepada setiap orang, mengingat pentingnya hukum-hukum yang diakibatkannya yang berkenaan dengan shalat, puasa, nikah, talak, warisan dan hukum lainnya. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan tentang shalat ; jumlah bilangan dan rakaatnya, waktu-waktunya, ruku’ dan sujudnya; tentang zakat : jenis hartanya, nisabnya, presentasenya dan siapa yang berhak menerimanya; tentang puasa ; waktu dan masanya; tentang haji dan masalah-masalah lainnya, bahkan tentang etiket makan, minum, tidur, jima’ (hubungan suami sitri), duduk, masuk dan keluar rumah, buang hajat, sampai jumlah bilangan batu untuk bersuci dari buang hajat, dan perkara-perkara lainnya baik yang kecil maupun yang besar, yang merupakan kelengkapan agama dan kesempurnaan nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kaum Mu’minin.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : ….. Dan kami turunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …..” (An-Nahl : 89).
“Artinya : ….. Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi mebenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu ….” (Yusuf : 111).
Oleh karena pembatasan dan rincian tersebut tidak terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka nyatalah bahwa hal itu tidak dapat dijadikan patokan. Namun, yang sebenarnya dijadikan patokan adalah keberadaan haid, yang telah dikaitkan dengan hukum-hukum syara’ menurut ada atau tidaknya.
Dalil ini – yakni suatu hukum tidak dapat diterima jika tidak terdapat dalam Kitab dan Sunnah – berguna bagi Anda dalam masalah ini dan masalah-masalah ilmu agama lainnya, karena hukum-hukum syar’i tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan dalil syar’i dari Kitab Allah, atau Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau ijma’ yang diketahui, atau qiyas yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam salah satu kaidah yang dibahasnya, mengatakan : “Di antara sebutan yang dikaitkan oleh Allah dengan berbagai hukum dalam Kitab dan Sunnah, yaitu sebuah haid. Allah tidak menentukan batas minimal dan maksimalnya, ataupun masa suci diantara dua haid. Padahal umat membutuhkannya dan banyak cobaan yang menimpa mereka karenanya. Bahasapun tidak membedakan antara satu batasan dengan batasan lainnya. Maka barangsiapa menentukan suatu batasan dalam masalah ini, berarti ia telah menyalahi Kitab dan Sunnah” (Risalah fil asmaa’ allati ‘allaqa asy-Syaari’ al-ahkaama bihaa. hal. 35).
Dalil keempat
Logika atau qiyas yang benar dan umum sifatnya. Yakni, bahwa Allah menerangkan‘illat (alasan) haid sebagai kotoran. Maka manakala haid itu ada, berarti kotoran pun ada. Tidak ada perbedaan antara hari kedua  dengan hari pertama, antara hari ke empat dengan hari ketiga. Juga tidak ada perbedaan antara hari keenam belas dengan hari kelima belas, atau antara hari kedelapan belas dengan hari ketujuh belas. Haid adalah haid dan kotoran adalah kotoran. Dalam kedua hari tersebut terdapat ‘illat yang sama. Jika demikian, bagaimana mungkin dibedakan dalam hukum diantara kedua hari itu, padahal keduanya sama dalam ‘illat ? Bukankah hal ini bertentangan dengan qiyas yang benar ? Bukankah menurut qiyas yang benar bahwa kedua hari tersebut sama dalam hukum karena kesamaan keduanya dalam ‘illat ?
Dalil kelima
Adanya perbedaan dan silang pendapat di kalangan ulama yang memberikan batasan, menunjukan bahwa dalam masalah ini tidak ada dalil yang harus dijadikan patokan. Namun, semua itu merupakan hukum-hukum ijtihad yang bisa salah dan bisa juga benar, tidak ada satu pendapat yang lebih patut diikuti daripada lainnya. Dan yang menjadi acuan bila terjadi perselisihan pendapat adalah Al-Qur’an dan Sunnah.
Jika ternyata pendapat yang menyatakan tidak ada batas minimal atau maksimal haid adalah pendapat yang kuat dan yang rajih, maka perlu diketahui bahwa setiap kali wanita melihat darah alami, bukan disebabkan luka atau lainnya, berarti darah itu darah haid, tanpa mempertimbangkan masa atau usia. Kecuali apabila keluarnya darah itu terus menerus tanpa henti atau berhenti sebentar saja seperti sehari atau dua hari dalam sebulan, maka darah tersebut adalah darah istihadhah. Dan akan dijelaskan, Inysa Allah, tentang istihadhah dan hukum-hukumnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan : “Pada prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah” (Risalah fil asmaa’ allati ‘allaqa asy-Syaari’ al-ahkaama bihaa. hal. 36).
Kata beliau pula : “Maka darah yang keluar adalah haid, bila tidak diketahui sebagai darah penyakit atau karena luka”. (Risalah fil asmaa’ allati ‘allaqa asy-Syaari’ al-ahkaama bihaa. hal. 38).
Pendapat ini sebagaimana merupakan pendapat yang kuat berdasarkan dalil, juga merupakan pendapat yang paling dapat dipahami dan dimengerti serta lebih mudah diamalkan dan diterapkan daripada pendapat mereka yang memberikan batasan. Dengan demikian, pendapat inilah yang lebih patut diterima karena sesuai dengan semangat dan kaidah agama Islam, yaitu : mudah dan gampang.
Firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (Al-Hajj : 78).
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Artinya : Sungguh agama (Islam) itu mudah. Dan tidak seorangpun mempersulit (berlebih-lebihan) dalam agamanya kecuali akan terkalahkan. Maka berlakulah lurus, sederhana (tidak melampui batas) dan sebarkan kabar gembira”. (Hadits Riwayat Al-Bukhari).
Dan diantara ahlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika beliau diminta memilih antara dua perkara, maka dipilihnya yang termudah selama tidak merupakan perbuatan dosa.
3. Haid Wanita Hamil
Pada umumnya, seorang wanita jika dalam keadaan hamil akan berhenti haid (menstruasi). Kata Imam Ahmad, rahimahullah, “Kaum wanita dapat mengetahui adanya kehamilan dengan berhentinya haid”.
Apabila wanita hamil mengeluarkan darah sesaat sebelum kelahiran (dua atau tiga hari) dengan disertai rasa sakit, maka darah tersebut adalah darah nifas. Tetapi jika terjadi jauh hari sebelum kelahiran atau mendekati kelahiran tanpa disertai rasa sakit, maka darah itu bukan barah nifas. Jika bukan, apakah itu termasuk darah haid yang berlaku pula baginya hukum-hukum haid atau disebut darah kotor yang hukumnya tidak seperti hukum-hukum haid ? Ada perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah ini.
Dan pendapat yang benar, bahwa darah tadi adalah darah haid apabila terjadi pada wanita menurut kebiasaan waktu haidnya. Sebab, pada prinsipnya, darah yang terjadi pada wanita adalah darah haid selama tidak ada sebab yang menolaknya sebagai darah haid. Dan tidak ada keterangan dalam Al-Qur’an maupun Sunnah yang menolak kemungkinan terjadinya haid pada wanita hamil.
Inilah madzhab Imam Malik dan Asy-Syafi’i, juga menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Disebutkan dalam kitab Al-Ikhtiyarat (hal.30) :”Dan dinyatakan oleh Al-Baihaqi menurut salah satu riwayat sebagai pendapat dari Imam Ahmad, bahkan dinyatakan bahwa Imam Ahmad telah kembali kepada pendapat ini”.
Dengan demikian, berlakulah pada haid wanita hamil apa yang juga berlaku pada haid wanita tidak hamil, kecuali dalam dua masalah :
1.    Talak. Diharamkan mentalak wanita tidak hamil dalam keadaan haid, tetapi tidak diharamkan terhadap wanita hamil. Sebab, talak dalam keadaan haid terhadap wanita tidak hamil menyalahi firman Allah Ta’ala.
“Artinya : ….Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) ….” (Ath-Thalaaq : 1).
Adapun mentalak wanita hamil dalam keadaan haid tidak menyalahi firman Allah. Sebab, siapa yang mentalak wanita hamil berarti ia mentalaknya pada saat dapat menghadapi masa iddahnya, baik dalam keadaan haid ataupun suci, karena masa iddahnya dengan masa kehamilan. Untuk itu, tidak diharamkan mentalak wanita hamil sekalipun setelah melakukan jima’ (senggama), dan berbeda hukumnya dengan wanita tidak hamil.
2.    Iddah. Bagi wanita hamil iddahnya berakhir dengan melahirkan, meski pernah haid ketika hamil ataupun tidak. Berdasarkan firman Allah Ta’ala.
“Artinya : Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya” (Ath-Thalaaq : 4)

Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa’ Ath-Thabii’iyah Lin Nisaa’ . Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-’Utsaimin, edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal. 9-20. Penerjemah. Muhammad Yusuf Harun, MA, Terbitan. Darul Haq Jakarta

Shalat Berjamaah selaian di Masjid


Para ulama berbeda pendapat dalam hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga pendapat:

Pendapat pertama: Boleh dilakukan di tempat selain masjid.

Ini pendapat Malik, Syafi’i dan riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.
Ibnul Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Imam Syafi’i –rahimahullah- berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]
Al-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di masjid.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”

Dalil-dalilnya

Mereka berdalil dengan hadis-hadis berikut:

1. Hadis Jabir Radhiyallahu ‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu disebutkan, “Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]

2. Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat waktu shalat datang beliau sedang berada di rumah kami. Kemudian beliau memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu beliau menyapunya dan memercikan air, dan Rasulullah shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di belakang beliau.”[5]

3. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan berdiri di belakangnya, lalu beliau memberi isyarat agar mereka duduk.”[6]

Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan ini.

Pendapat kedua: Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.

Pendapat ini merupakan riwayat lain dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam “Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”[7]

Beliau juga berkata, “Dan yang kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali karena uzur, wallahu a’lam bish shawab.”[8]

Sebagian mereka membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul Barakat (dari kalangan madzhab hambali) berkata, “Jika ia menyelisihi kemudian shalat berjamah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan pendapat yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan.”[9]

Dalam Syarh Fathul Qadir, “Dan al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota keluarganya kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?” ia menjawab, “Tidak, ia menjadi bid’ah dan dibenci tanpa uzur.”

Dalil-dalilnya

Ulama yang berpendapat dengan pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya berjamaah dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab Syafi’i berselisih pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain masjid, apakah menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeda pendapat ke dalam dua pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di selain masjid untuk menegakkan perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika tempatnya ramai, seperti shalat berjamah di pasar misalnya.
Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah- berkata, “yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang muktabar yang tidak bisa dihilangkan.”

Pendapat ketiga: dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di masjid. Dan orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali dengan berjamaah.
Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu seseorang ketika mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama imam. Jika ia sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang atau lebih. Jika ia tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ia tidak menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia sah, kecuali bagi yang memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan jamaah.”[10]

Ibnu Taimiyyah berkata dalam “Al-Fatawa Al-Mishriyyah”, “Apakah orang yang shalat berjamaah di rumahnya, gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat perselisihan, dan hendaknya tidak meniggalkan jamaah di masjid kecuali ada uzur.”[11]

Penutup

Alakah baiknya jika kita tutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul Qayyim –rahimahullah- dalam “Kitab Shalat”:
“Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”
Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan sampai kabarnya kepada penduduk Mekah, Suhail bin Amr berkhutbah –ketika itu Itab bin Usaid menjadikannya gubernur di Mekkah, ia sembunyi dari mereka karena takut. Kemudain Suhail mengeluarkannya saat penduduk Mekah telah kuat dalam Islam- kemudian Itab bin Usaid berkhutbah, “Wahai penduduk Mekah, tidak sampai kepadaku salah seorang diantara kalian yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali akan dipukul lehernya.” Para sahabat Nabi pun berterima kasih kepadanya atas perbuatan ini dan semakin menambah derajatnya di mata mereka. Dan yang aku yang yakini, tidak boleh seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali kerena uzur, wallahu ‘alam bish-shawab.”

Selasa, 06 Maret 2012

Mengapa Wanita Bertabaruj dan Tampil Tanpa Rasa Malu


Berapa hal yang di katakan (Khalid Al-Husainan: 72, 2011) Seseorang wanita bertabaruj dan Tapil Tanpa Rasa Malu disebabkan oleh bebrapa hal :
1. Lemah Iman dan Tidak Takut Kepada ALLAH
         Apabila wanita melupakan hukuman ALLAH terhadap dirinya ketika melanggar perintah-Nya, ia  akan berbuat sesukanya sehingga dirinya dikuasai setan, diperbudak hatinya, dan digiring ke dalam kecenderungan Jiwa yang selalu memerintahkan kejahatan. Selain itu, setan, jin dan manusia akan menghiasai dirinya. Oleh Karena itu Rasulullah SAW bersabda : Aku menengok ke neraka, Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah wanita." (HR. Bukhari)


2.  Pendidikan yang Rusak
         Apabila sebuah keluarga meremehkan pertumbuhan individunya diatas kebaikan, mereka akan terjerumus kedalam jalan kesesatan. Seorang gadis terdidik dari keluarganya dan akan mengikiti jejak mereka. apabila melihat ibunya bertabaruj, dia pun akan bertabaruj.


3. Pengaruh Media Massa
         Dengan munculnya bebagai media massa yang modern, musuh-musuh kebaikan sengaja menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Diantara kebutuhan terpenting mereka adalah mengeluarkan mutiara yang tersimpan dan membuangnya ke rawa kantor.


4. Taklid 
         Pada Zaman yang banyak fitnah dan godaan ini, sebagian wanita senang ikut-ikutan sampai pada batas-batas tergila-gila. Terkhusus, mereka mengikuti akhlak bejat wanita-wanita Barat yang tidak memiliki maksud, kecuali memamerkan kemolekan tubuh tanpa mau memelihara akhlak dan kehormatan. Lalu wanita muslimahpun meniru dan mengikuti mereka dalam gaya berpakaian mereka yang penuh tabaruj, dan akhlak mereka yang rendah.


5. Pengaruh Teman yang Rusak
           Sebagaimana dikatakan orang, "Teman itu memberi pengaruh,"


( Kutipan dari Kitab At-Tabarruj wa Al-Ihtisab Alaihi)